Instagram -->

Rabu, 24 Juli 2013

Malu lah sama anak kecil...

Suatu hari, saya berkunjung ke rumah sepupu saya. Jarak usia saya dan sepupu saya cukup jah, dia baru masuk SMP ini. Sebutlah namanya Nathan. Saya dan Nathan memang suka usil, suatu waktu, saya msuk ke kamar Nathan yang sedang main game online. Dengan berbekal sedikit pengetahuan tentang game online saya tanya sama Nathan
" Kok cash kamu 0? kamu gak pake cash? cuma pake skor aja buat beli senjatanya"
dan jawabannya sempat membuat saya tercengang sejenak
" Buat apa pake cash segala, ngabis-ngabisin duit. Mending buat makan, diuar sana aja yang susah makan banyak kok duit cuma dihambur-hamburin buat hal gak penting. Senjatanya emas tapi amu makan susah ya buat apa"
Mendengar jawaban itu dari dia saya hanya diam sambil terkagum-kagum. Nathan tidak lahir dari keluarga yang melarat, bisa dibilang mereka berkecukupan, berkelimpahan kalau boleh dibilang. Tapi, pemikirannya tidak seperti kebanyakan anak orang kaya pada umumnya. Dia peduli dan tahu keadaan diluar sana seperti apa, padahal kehidupan sehai-harinya hanya dihabiskan untuk belajar dan main game saja. Tapi ia berbicara seolah ia tau dan melihat apa yang ada dan apa yang dialami diluar sana.
Hal itu membuat saya sedikit tersentil batin saya. Saya yang sudah sebesar ini masih suka membeli barang-barang tidak penting, masih suka foya-foya untuk hal yang kurang penting, apatis terhadap kesusahan orang lain.
Ini membuat saya teringat beberapa orang yang menurut saya kurang bersyukur atas apa yang mereka terima. Ada beberapa orang yang hidup amat sangat berkecukupan tapi masih mengemis bantuan daru orang lain bahkan dari pemerintah yang mana bantuan itu harusnya untuk orang yang benar-benar kurang mampu. Apa mereka berharap benar-benar melarat dengan cara seperti itu?? Mental seperti apa yang dimiliki orang-orang macam itu? Bagaimana Indonesia bisa maju kalau mayoritas penduduknya bermental pengemis sperti itu? Saya sendiri gak habis pikir gimana bisa ada orang yang tega merebut jatah orang lain untu menumpuk kekayaan sendiri.
Semoag dengan tulisan ini, semakin banyak orang sadar tentang kodrat dan hakikat mereka, dan tidak serakah serta peduli terhadap orang lain. Malu lah sama anak kecil.

Minggu, 07 Juli 2013

Diamnya seorang ayah

Dulu, tiap kali Papa marah soal main malem dan lain-lain, aku selalu aja marah balik. Karena Papa sendiri gak pernah bilang kenapa larangan itu ada. Seandainya dibuat aturan dan dibukukan, mungkin terlalu banyak kekhawatiran Papa padaku. Sampai suatu hari, sebuah kejadian besar mengubah semau persepsiku tentang apa yang Papa rasakan selama ini.
Sayangnya kejadian itu bukan disini aku bisa membukanya pada dunia :))
Akhirnya semua pertanyaanku tentang kekhawatiran ayahku terjawab sudah. Aku tau ayahku bukan orang yang mudah mengungkapkan perasaan pada keluarganya, apa yang ia rasa, hanya ia yang tahu dan Tuhan.
Ayahku bukan orang yang sempurna dalam menyanyangi, tapi dia berusaha menafkahi kami dengan begitu baiknya.
Ayahku bukan tipe ayah yang bisa berkumpul bersama keluarganya, tapi disela seluruh kesibukannya, pesan kecil selalu ia kirimkan pada kami keluarganya.
Ayahku, jauh dari sempurna dan idealnya seorang ayah di mata orang lain, tapi bagiku, dialah yang terbaik yang aku punya. Dia yang mendidik ku tentang waktu, dia yang mengkhawatirkan aku lebih dari semua pacar yang pernah aku punya. Dia yang menjaga ku tetap bahagia.
Semua larangan itu masuk akal bagiku sekarang, karena dia inginkan yang terbaik untukku. Mungkin, baginya dunia ini terlalu kejam untuk gadis-gadisnya yang belum tahu banyak tentang dunia luar. Ia hanya ingin menjaga, tak lebih dan kurang. Ia ingin menyampaikan sayangnya, namun tak tahu cara yang tepat dan tak tahu bagaimana.
Aku tahu, Suatu saat nanti ia akan bilang sayang padaku.
Before you say it, Dad. I love you, more than thousand words i say :)